0



Berita Metropolitan – Rumah Sakit Umum Cut Meutia di Aceh Utara sudah mulai mengoperasikan laboratorium Patologi khusus untuk penderita HIV/AIDS.


Untuk acara peresmian tersebut berlangsung beberapa waktu lalu dan keberadaan klinik itu diharapkan bisa membantu para korban HIV/AIDS.


Harapan selanjutnya, penyakit ini bisa dicegah untuk penyebarannya sehingga bisa membuat warga tidak resah.


Pernyataan Keras Bupati Aceh.

Pernyataan Keras Bupati Aceh.

Acara tersebut turut dihadiri oleh Bupati Aceh Utara, Muhammad Thaib beserta dengan beberapa pejabat di jajaran pemerintah Kabupaten Aceh Utara.



Walau menghadiri acara peresmian klinik tersebut, namun ternyata Bupati Aceh Utara itu menegaskan bahwa dirinya tak begitu peduli dengan para penderita penyakit HIV/AIDS tersebut


“Yang sudah terindikasi tertular HIV AIDS, himbauan saya biarkan mati, “ ucap Thaib dengan tegas tanpa belas kasihan seperti dikutip Berita Metropolitan.



Selanjutnya, Ia memberikan peringatan keras kepada orangtuanya supaya dapat menjaga anaknya serta memberikan pendidikan yang baik


“Yang perlu kita tingkatkan (himbauan) kepada orang tuanya agar menjaga anaknya. memberi pendidikan,” tukasnya.


Ia pun turut memperingatkan para warga untuk tidak menggunakan jasa dukun beranak karena bisa menjadi penyebab munculnya penyakit HIV/AIDS.


Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP

Salah seorang netizen bernama Syaiful W. Harahap telah menuliskan pendapatnya di kolom Kompasiana sebagai tanggapan kerasnya atas penyataan dari Bupati Aceh Utara tersebut.


Berikut adalah tulisan yang berhasil Berita Metropolitan salin dari laman Kompasiana:


Ini data HIV/AIDS di Aceh Utara. Hingga kini tercatat 37 warga terjangkit HIV dan masih hidup. Sedangkan 21 warga lainnya sudah meninggal. Jumlah kasus HIV/Aids di Aceh Utara masih yang tertinggi di Aceh (aceh.tribunnews.com, 26/8-2016).


Atau Pak Bupati membusungkan dada dengan mengatakan: Warga Aceh Utara hidup di daerah dengan syariat Islam dan tidak ada pelacuran di Aceh Utara!


Pak Bupati benar seratus persen. Tapi:


(1) Apakah Pak Bupati bisa menjamin sama sekali tidak ada praktek perzinaan dalam bentuk pelacuran di Aceh Utara?


(2) Apakah Pak Bupati bisa menjamin tidak ada laki-laki warga Aceh Utara yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan pekerja seks komersial (PSK) di luar Aceh Utara?


(3) Apakah Pak Bupati bisa menjamin tidak ada laki-laki dewasa warga Aceh Utara yang melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan dewasa asal luar Aceh Utara atau di luar Aceh Utara?


(4) Apakah Pak Bupati bisa menjamin tidak ada perempuan dewasa warga Aceh Utara yang melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan laki-laki dewasa asal luar Aceh Utara atau di luar Aceh Utara?



(5) Apakah Pak Bupati bisa menjamin tidak ada warga Aceh Utara yang menyalahgunakan narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) dengan jarum suntik secara bersama-sama dengan jarum yang dipakai bersama-sama?


Jika jawaban dari lima pertanyaan di atas salah satu saja TIDAK, maka ada warga Aceh Utara yang berisiko tertular HIV dan warga yang tertular HIV inilah yang akan menyebarkan HIV/AIDS di Aceh Utara, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.


Agaknya, cara berpikir Pak Bupati ini tetap berada 35 tahun yang lalu di awal epidemi HIV/AIDS ketika banyak orang hanya melihat penularan HIV/AIDS pada kalangan laki-laki gay dan PSK. Cara berpikir yang mundur empat dekade.


Padahal, HIV/AIDS di kalangan PSK justru dibawa oleh laki-laki ‘hidung belang’ yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang pejabat, pegawai, karyawan, aparat, rampok, maling, mahasiswa, copet, sopir, pilot, pelaut, wartawan, dll. Laki-laki ini dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami, pacar, selingkuhan, suami kawin-kontrak, suami nikah mut’ah, dll. Pernyataan Pak Bupati yang tidak manusiawi itu menghujat hati nurani istri-istri yang tertular HIV/AIDS dari suami, bayi dan anak-anak yang tertular HIV dari ibu mereka, dan orang-orang yang tertular HIV dari transfusi darah.


Apakah Pak Bupati memikirkan dampak buruk pernyatannya?


Ternyata tidak karena pola pikir yang mundur tadi. Pernyataan ini membuktikan pemahaman Pak Bupati terhadap HIV/AIDS sebagai fakta medis sangat rendah:


“Yang perlu kita tingkatkan (himbauan) kepada orang tuanya agar menjaga anaknya. memberi pendidikan,” kata Muhammad Thaib.


Nah, Pak Bupati rupanya tidak mengetahui kalau banyak anak-anak yang justr tertular HIV dari ibunya, sedangkan ibu mereka tertular HIV dari suami. Yang perlu dididik bukan anak-anak, tapi orang-orang tua, dalam hal ini laki-laki dewasa, agar menjaga perilaku seksnya sehingga tidak tertular HIV/AIDS.


Pemahaman Pak Bupati terhadap HIV/AIDS sebagai fakta medis yang sangat rendah bisa disimak dari pernyataan ybs.: Menurut bupati, menggunakan dukun beranak juga dapat menyebabkan timbulnya HIV AIDS.


Pertanyaan yang sangat mendasar adalah: bagaimana cara penularan HIV/AIDS dari dukun beranak ke ibu yang melahirkan? Celakanya, wartawan hanya mengutip pernyataan bupati tanpa bertanya lebih jauh tentang pernyataan tsb. Pemahaman wartawan yang menulis berita ini terhadap HIV/AIDS memang jeblok sampai ke titik nadir.


Buktinya ini: “Kebeberadaan klinik ini diharapkan dapat membantu korban hiv aids dan dapat mencegah penyebaran penyakit mematikan tersebut.”


Sampai hari ini (18/9-2016) belum ada kasus kematian karena HIV/AIDS. Kematian pada pengidap HIV/AIDS terjadi karena penyakit-penyakit yang ada pada masa AIDS, disebut infeksi oportunistik, seperti diare, TBC, dll. Masa AIDS secara statistik terjadi antara 5-15 tahun setelah tertula HIV. Sekarang masa AIDS tidak masalah lagi karena sudah ada obat ARV yang menekan pertambahan jumlah virus (HIV) di dalam darah. Menurut wartawan yang menulis berita ini poin penting yang harus dilakukan adalah orang tua harus memeriksa kesehatan calon menantunya bila ingin menikahkan anaknya.


“Jangan bangga pada motto,… oo…calon menanatu saya baru pulang dari Malaysia.“ Tes HIV pada calon menantu tidak jaminan si menantu selamanya akan bebas dari HIV/AIDS.


Bisa saja setelah menikah si suami melakukan perilaku yang berisiko tertular HIV/AIDS yaitu salah satu dari lima perilaku di atas sehingga tertular HIV. Jika ini terjadi, maka bisa saja si suami menuding istrinya yang selingkuh karena dia memegang surat keterangan ‘bebas AIDS’.


Satu hal yang luput dari perhatian Pak Bupati adalah sebelum seorang pengidap HIV/AIDS mati jika tidak ditangani sejak terdeteksi tanpa dia sadari dia menularkan HIV/AIDS kepada orang lain. Misalnya, kalau seorang laki-laki maka dia akan menularkan HIV/AIDS ke istrinya. Kalau istrinya lebih dari satu, maka kian banyak perempuan dan bayi yang berisiko tertular HIV/AIDS hanya karena seruan bupati: ‘Yang Terindikasi HIV/AIDS Biarkan Mati’.



Penulis: Rina





Source link



Posting Komentar

 
Top