Suasana pembongkaran rumah warga di Bukit Duri, Tebet, Jakarta, Rabu (28/9/2016). Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menggusur bangunan yang berbatasan langsung dengan Sungai Ciliwung terkait upaya normalisasi, dan akan merelokasi warga ke Rusun Rawa Bebek. |
Berita Metropolitan – Suara-suara perlawanan berkumandang di RT 06 RW 12 Bukit Duri,
Tebet, Jakarta Selatan, Rabu (28/9/2016) pagi kemarin, saat para
petugas Satpol PP dan sejumlah alat berat hendak merobohkan rumah-rumah
warga di sana.
Kumandang suara perlawanan itu merupakan bagian dari momen penertiban permukiman di Bukit Duri yang berada di bantaran Sungai Ciliwung. Suasana penertiban dalam rangka menormalisasi Ciliwung itu cukup tegang.
Sebanyak 900 aparat gabungan diturunkan ke lokasi. Di antara mereka
ada yang dipelengkapi peralatan anti huru hara seperti rotan, tameng dan
gas air mata.
Namun situasi berlangsung kondusif hingga alat berat selesai
meratakan rumah-rumah warga. Tidak ada adu kekerasan fisik antara warga
dan petugas.
Saat para petugas masuk ke permukiman, warga bahkan menyambut mereka
dengan memberikan bunga. Warga lainnya memilih fokus mengemas perabotan
mereka. Ada pula yang tak segan meminta bantuan petugas Satpol PP untuk
mengemas perabotan.
Situasi itu kontras dengan penertiban di Kampung Pulo, tetangga Bukit Duri
yang hanya dipisah Sungai Ciliwung. Pada Agustus 2015, penertiban di
Kampung Pulo, untuk tujuan normalisasi Ciliwung juga, diwarnai bentrokan
antar aparat dan warga. Para pemuda, remaja, bahkan orang dewasa,
melawan aparat. Sejumlah orang jadi korban.
Tak hanya di Kampung Pulo, dalam semua penertiban permukiman yang
dianggap liar selama ini, selalu diwarnai bentrokan fisik. Yang paling
akhir di Rawajati, Kalibata, Jakarta Selatan. Pada penertiban-penertiban sebelumnya juga seperti itu, sebut saja di Waduk Pluit, atau di Luar Batang.
Mengapa Berbeda?
Sebagian besar warga Bukit Duri
sudah direlokasi ke Rusun Rawa Bebek sejak diberikan surat peringatan I
dan II. Sementara sebagian lain ada yang pindah ke kerabat atau memilih
menyewa kontrakan.
Sampai pertengahan September 2016 tercatat 270 kepala keluarga (KK) warga Bukit Duri pindah ke rusun. Total ada 363 rumah yang mesti dibongkar di Bukit Duri.
Hanafi (87) warga Bukit Duri RT 06 RW 12 mengatakan, masyarakat setempat pasrah dengan penggusuran itu.
“Kalau orang sini sebetulnya sadar, enggak mau melawan pemerintah,” kata pensiunan Bea Cukai itu, kemarin.
Warga mengedepankan cara-cara damai menghadapi petugas. Warga juga
sedang menggugat pemerintah di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan PTUN.
“Kami diusahakan agar dapat penggantian,” ujar Hanafi.
Namun pemerintah hanya akan membayar lahan warga yang memang punya sertifikat.
Asmo, warga RT 06 RW 12 mengatakan hal senada. “Saya enggak suka melakukan kekerasan, termasuk melawan aparat,” kata Asmo.
Belajar dari Kampung Pulo
Ketua Komunitas Ciliwung Merdeka, Sandyawan Sumardi mengatakan,
pengalaman kericuhan tahun lalu di Kampung Pulo saat menolak penggusuran
membuat warga Bukit Duri belajar. Warga ingin menghadapi kebijakan pemerintah tidak dengan putus asa tetapi tetap tenang.
“Memang iya, warga Bukit Duri
belajar dari pengalaman warga Kampung Pulo yang rusuh. Kami tidak putus
asa meskipun marah tetapi menghadapinya dengan akal sehat dan jernih,”
ujar Sandiawan, yang mendampingi sebagian warga Bukit Duri.
Meski tempat tinggal sudah dengan rata tanah, warga menolak disebut
‘kalah’. Dengan tidak melawan aparat seperti yang ditunjukan kemarin,
warga menilai sudah menang secara moral.
“Makanya tidak ada kerusuhan apapun, juga dan itu diakui aparat
keamanan,” kata Sandyawan. “Tidak apa-apa secara fisik mungkin kami
kalah, bangunan kami dirobohkan. Tapi jiwa dan harga diri kami menang,”
kata dia.
Meski demikian, warga sempat menghambat penggusuran dengan menggelar
aksi menabuh peralatan barang bekas. Aksi tersebut cukup mengganggu
karena petugas mesti mendorong mundur warga agar tidak dekat dengan alat
berat yang sedang bekerja.
Namun akhirnya, petugas dapat meratakan kawasan permukiman itu dengan bantuan alat berat tanpa ada perlawanan fisik dari warga.
“Ini sudah lebih bagus dari waktu penertiban di Kampung Pulo. Tidak
sampai ada bentrokan, Alhamdulillah, puji Tuhan. Ini menunjukkan rasa
tangggung jawab kita yang semakin besar untuk menjaga ketertiban di ibu
kota,” terang Kepala Satpol PP DKI Jakarta, Jupan Royte.
Sikap dari para warga yang menunjukkan kesadaran atas kepentingan
masyarakat yang lain itu sangat membanggakan. Dengan dilakukannya
normalisasi Sungai Ciliwung, risiko banjir yang sudah rutin terjadi
bakal bisa ditanggulangi.
“Bisa jadi warga Bukit Duri juga melihat bagaimana Kampung Pulo yang
sekarang juga lebih minim banjir setelah ada normalisasi. Dan ini kan
juga untuk kepentingan masyarakat yang lebih luas,” ungkapnya.
Relokasi adalah Kepedulian Pemprov
Jupan menuturkan bahwa tujuan dari penertiban itu adalah sebagai bentuk dari kepedulian pemerintah terhadap warganya.
Usaha untuk melakukan relokasi dan pemberian fasilitas-fasilitas
lainnya adalah supaya warga yang terkena dampak penertiban bisa tetap
hidup normal.
“Yang dilakukan ini kan bukan penggusuran. Kalau penggusuran, warga
tidak akan dapat relokasi rusun dan fasilitas lainnya. Mana ada negara
yang ingin rakyatnya kesusahan?” jelasnya.(kompas.com & okterus.com))
Posting Komentar