0




Berita Metropolitan.com, Jakarta – Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (Mahfud MD) Mahfud MD menilai Putusan Mahkamah Konstitusi  tidak bisa menjadi dasar bagi Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR mengabulkan permintaan pemulihan nama baik Ketua Umum DPP Partai Golkar Setya Novanto.



Menurut Mahfud, putusan Nomor 20/PUU-XIV/2016 tanggal 7 September 2016 tersebut dikategorikan sebagai putusan soal hukum pidana, sedangkan putusan MKD adalah tentang etika.



“Jadi jalurnya berbeda. Oleh sebab itu tidak bisa saling menghapuskan. Keduanya berjalan sendiri-sendiri,” ujar Mahfud saat ditemui di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan, Rabu (28/9/2016).



Mahfud menjelaskan, berdasarkan Tap MPR No. 21/2001 dan TAP MPR No. 8/ 2001 tentang etika berkehidupan berbangsa dan bernegara, perkara mengenai etika bisa berjalan sendiri tanpa hukum pidana.



Selain itu, dalam ketetapan itu juga disebutkan bahwa melakukan perbuatan yang kurang pantas, tidak beretika itu harus mengundurkan diri atau diberhentikan tanpa adanya putusan hukum.



“Ketentuan itu ada dalam ketetapan tersebut. Orang yang bersalah dalam hukum administrasi negara dapat dihukum tanpa dihukum pidana. Misalnya diberhentikan. Meskipun orangnya tidak dihukum pidana. Jadi hukum administrasi dan hukum pidana itu berbeda, apalagi etika,” ungkapnya.



Sebelumnya, Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR mengabulkan permintaan pemulihan nama baik Ketua Umum DPP Partai Golkar Setya Novanto.



Surat MKD DPR terkait hal tersebut diteken oleh Ketua MKD DPR Sufmi Dasco Ahmad dan ditujukan kepada pimpinan DPR.



Permintaan pemulihan nama baik sebelumnya diajukan Fraksi Partai Golkar untuk Novanto yang saat itu menjabat Ketua Fraksi terkait kasus “Papa Minta Saham”.



Karena tersangkut kasus tersebut, Novanto mengundurkan diri sebagai Ketua DPR dan dirinya dirotasi menjadi Ketua Fraksi.



Wakil Ketua MKD Sarifuddin Sudding menjelaskan, MKD telah melakukan rapat untuk menindaklanjuti permohonan Novanto untuk Peninjauan Kembali terhadap proses sidang yang dilakukan MKD terkait kasus “Papa Minta Saham”.



Dalam kasus tersebut, mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said membawa bukti pengaduan berupa rekaman pembicaraan.



Pasca-keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi, bukti pengaduan tersebut dinyatakan tidak valid untuk dijadikan barang bukti.



“Rekaman itu tidak sah dan tidak mengikat. Atas dasar itulah, MKD menganggap tidak ada cukup bukti untuk proses persidangan MKD serta memulihkan harkat martabat Pak Setya Novanto,” kata Sudding di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (28/9/2016).



Adapun bunyi surat MKD tersebut yakni sebagai berikut:



Bersama ini kami beritahukan bahwa Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) telah melaksanakan Sidang pada tanggal 27 September 2016 terhadap Permohonan Peninjauan Kembali Putusan Mahkamah Kehormatan Dewan atas nama Yth. Drs. Setya Novanto, Ak (A-300/F-PG), yang diajukan secara tertulis pada tanggal 19 September 2016. Keputusan sidang MKD adalah sebagai berikut :



1. Mengabulkan Permohonan Peninjauan Kembali Sdr. Drs. Setya Novanto, Ak terhadap proses Persidangan atas Perkara Pengaduan Sdr. Sudirman Said.



2. Menyatakan bahwa proses persidangan perkara tidak memenuhi syarat hukum untuk memberikan Putusan Etik karena berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016 tanggal 7 September 2016 bahwa alat bukti rekaman elektronik sebagai alat bukti utama dalam proses persidangan MKD adalah tidak sah.



3. Memulihkan harkat dan martabat serta nama baik Saudara Setya Novanto dan pihak-pihak lain yang terkait dalam Proses Persidangan MKD. 



(Sumber: Kompas.com).




Posting Komentar

 
Top