Berita Metropolitan – Ini baru untuk kali kedua saya melihat langsung penampilan Presiden Jokowi. Sabtu, 3 September lalu. Di Shanghai. Dalam forum pertemuan dengan masyarakat
Indonesia. Di sela-sela acara presiden yang padat menghadiri KTT G20 di
Hangzhou, satu jam naik kereta peluru dari Shanghai.
Yang pertama terjadi setengah tahun lalu, saat presiden menghadiri puncak acara Hari Pers Nasional di Lombok.
Kebetulan, saya baru tiba di Shanghai
dari Amerika. Seorang teman mengajak saya menghadiri pertemuan itu. Saya
duduk di kursi umum bersama mahasiswa Indonesia yang lagi belajar di
Tiongkok. Termasuk sebagian yang dikirim oleh yayasan yang saya bina.
Saya kira presiden tidak melihat
kehadiran saya. Saya kaget, ketika selesai memperkenalkan para
menterinya yang hadir, tiba-tiba presiden memperkenalkan kehadiran saya.
”Awalnya saya tadi ragu melihat itu Pak Dahlan atau bukan,” kata
presiden.
Saya pernah ikut hadir saat Presiden
Soeharto bertemu masyarakat Indonesia di Tiongkok. Juga saat Presiden
SBY melakukan hal yang sama. Saya bisa mencatat perbedaan suasananya.
Yang pertama sangat ketat, yang kedua
lebih longgar, dan yang ini sangat longgar. MC-nya pun M. Farkhan yang
terus melucu sepanjang acara. Juga pakai band dari Indonesia: Ada
penyanyi Tata Dewi-Dewi, Ari Lasso, dan yang tak tampil di panggung,
Abdee Negara Slank.
Presiden menjelaskan kompetisi dan daya
saing. Ada tampilan slide tentang ranking Indonesia yang kalah oleh
negara tetangga sekalipun. Juga foto lama bank kita, yang dulu lemah,
jelek, dengan layanan yang buruk. Setelah dibuka persaingan, bank kita
berubah.
Masuknya bank asing tidak membuat bank
kita kalah. Lalu, ditampilkan foto bank kita yang modern dengan laba Rp
25 triliun (BRI) dan Rp 15 triliun (Bank Mandiri).
Orang kita ini saya tahu persis, harus diberi tantangan,” kata presiden.
Lalu, ditampilkan hal sama di bidang lain. Seperti tampilan SPBU Pertamina yang kumuh sebelum dibukanya SPBU asing.
Waktu yang sempit menyebabkan hanya tiga
penanya yang dapat kesempatan. Pertanyaan yang berat datang dari
mahasiswa kedokteran. Yang mengkhawatirkan setelah jadi dokter nanti
tidak diakui di Indonesia.
”Saya sudah tahu persoalan ini,” jawab presiden. ”Di tempat lain juga ditanyakan.”
Tapi, kata presiden, ini tidak terlalu
menyangkut peraturan dari pemerintah. Ini lebih banyak karena aturan
organisasi dokter sendiri. Presiden akan menanganinya.
Di akhir acara, presiden ”terjun” ke
tengah-tengah mahasiswa. Berebut lah foto dan selfie. Para menteri
seperti Luhut Pandjaitan, Sri Mulyani, Enggartiasto, Erlangga, Pramono
Anung, dan Rudiantara bergegas ke acara berikutnya.
Yang juga tidak sama dengan pertemuan
serupa di zaman dulu adalah mahasiswa yang hadir. Dulu hampir 100 persen
adalah mahasiswa keturunan Tionghoa yang berkuliah di Tiongkok. Dalam
pertemuan kemarin, sepertiga mahasiswi yang hadir memakai jilbab. Itu
menandakan sudah begitu banyak santri yang berkuliah di Tiongkok.
Saya banyak bicara dengan mereka.
Menggunakan bahasa Mandarin. Sekalian ngetes, hehe, sampai di mana
tingkat kepandaian mereka berbahasa Mandarin. Ternyata sudah banyak yang
lebih hebat daripada saya.
Tahun ini yayasan yang saya bina kembali
mengirim mahasiswa ke Tiongkok. Jumlahnya 160 orang. Banyak di antara
mereka dari pondok pesantren. Termasuk dari Pondok Bumi Shalawat
Sidoarjo binaan kiai hebat Ali Mashuri. Juga dari Gresik, Pasuruan,
Probolinggo, Kaltim, dan Papua.
Presiden tentu iri dengan perkembangan
jalan tol, kereta cepat, dan kereta bawah tanah di Tiongkok. Presiden
tidak menutupi kegemasannya itu.
”Mau bangun kereta cepat hanya 146 km
dari Jakarta ke Bandung saja ributnya bukan main,” ujar presiden. ”Di
sini, satu tahun saja bertambahnya 2.000 km,” katanya.
Ini kedatangan kali ketiga presiden ke
Tiongkok dalam dua tahun masa jabatannya. Atau kali keenam bertemu
Presiden Tiongkok Xi Jinping. Belum lagi yang lewat tilpon. ”Kalau
tilpon-tilponan langsung sih sering banget,” katanya.(jpnn.com)
Source link
Posting Komentar