0
Ketika Institusi dan Media Jadi Sumber HOAX, Kita Bisa Apa?



Opini : Alifurrahman / Pengamat Politik






Pada jaman orde baru, semua media dikontrol agar sesuai dengan keinginan pemerintah. Setelah reformasi, media dilepas sebebas-bebasnya, dan mungkin sekarang sudah tidak lagi sesuai dengan cita-cita awal: media untuk menyampaikan informasi yang benar.

Gambar di atas hanyalah contoh bahwa media mainstream bisa sangat masuk angin. Saya tidak punya kesimpulan lain kecuali media tersebut menurunkan berita provokatif yang membentuk persepsi negatif. Bahasa kerennya, framming. Sengaja membentuk sebuah berita untuk menciptakan persepsi yang berlebihan. Dalam hal ini, ibunda Jokowi digambarkan seolah glamor.

Mengapa seolah? Sebab beritanya ngaco. Pertama soal menggunakan bus seharga 3 miliar. Dari bahasannya, seolah-olah ibunda Jokowi menghabiskan dana 3 miliar untuk jalan-jalan. Atau minimal membentuk persepsi bermewah-mewahan. Padahal harga bus 3 miliar itu standar. Saya yakin bis patas Jaya Utama jurusan Surabaya-Semarang juga seharga 3 miliaran. Namun karena angka “3 miliar” yang biasapun seolah mewah. Ditambah lagi dengan pengetahuan masyarakat yang masih cukup awam, yang terdengar sumbang pasti 3 miliarnya.

Kalau yang seperti itu dibahas dan dihitung, saya juga sepertinya sangat hedonis dan kaya. Naik pesawat ekonomi paling murah pun sudah ratusan miliar harganya. Bolak-balik naik bus dan kereta eksekutif. Mungkin perlu juga Tribun memberitakan “Pakar Mantan ke Jakarta dengan pesawat seharga 1 triliun.” Hitung juga saya gunakan LRT, tol, dan semuanya. Hahaha

Selain framing dan membentuk persepsi, rupanya Tribun juga memuat berita HOAX. Itu terlihat dari pemberitaan ibunda Jokowi menginap di hotel yang harga perkamarnya 15 juta permalam. Jauh sebelum saya cek ke web pembelian kamar hotel, saya sudah curiga kalau angka tersebut HOAX. Sebab lokasinya ada di Toraja, logika sederhana sana lah, apa iya Toraja sudah semaju Jakarta dan punya hotel dengan tarif 15 juta permalam? Setau saya Jakarta pun belum punya yang seharga itu.

Setelah saya cek, ternyata harga permalamnya hanya 3 juta rupiah untuk weekend dan lebih murah kalau hari biasa. Lah itu kenapa jadi 15 juta? Tanya sama wartawan sapinya.

Mungkin banyak juga yang belum tau apa itu media Tribun. Media ini milik Kompas Gramedia. Cuma yang ada dan mewakili daerah. Mirip seperti Jawapos yang memiliki koran-koran dengan nama “Radar” di depan nama daerahnya.

Artinya apa? Kondisi media kita sudah memprihatinkan. Jika sebelumnya Tempo sempat muncul dengan majalah investigatif fiktif soal Ahok, Jawapos mengiklankan investasi bodong, sekarang anak Kompas pun terlihat mabuk dan memuat berita fiktif.

Saya pikir ini sudah keterlaluan. Cara media memberitakan dan mengambil sudut pandang sangat tergantung dengan kepentingan.

Lebih mengerikan lagi ketika institusi pemerintah juga terlibat dalam penggiringan isu. Contoh saja BPK dan kasus RS Sumberwaras yang dibeli oleh Pemprov DKI. Selama proses penyelidikannya, terlihat jelas fakta lapangan betapa BPK sangat serampangan dalam menuduh “ada kerugian 191 miliar.” Lokasi tanah yang menurut BPN ada di jalan tomang utara, dihitung dengan NJOP sesuai jalan kyai tapah.

Sampai sekarang tuduhan kerugian atau korupsi tersebut tidak terbukti. Malah investigasi untuk membantah tuduhan BPK, beberapa diantaranya dilakukan oleh warga biasa lewat akun sosial media.

Mereka yang di BPK dan wartawan Tribun saya pikir bukanlah orang bodoh. Namun keduanya kini terbukti telah memberikan informasi salah dan membodoh-bodohi masyarakat. Banyak media jadi seperti burung beo yang hanya bisa menirukan suara sama persis dengan orang yang lewat di depannya atau memberinya makan. Saya malah menilai mereka tak pernah memikirkan benar tidaknya informasi yang didapat, yang penting dapat berita.



Jika jaman orde baru dulu media dibatasi dan dikontrol agar tidak mengkritik kesalahan pemerintah, sekarang media dilepas dan bebas menyalah-nyalahkan yang sudah benar, mengaburkan informasi atau malah memprovokasi. Berita di Tribun adalah contoh kongkrit betapa media kita sudah tidak sehat.

Cerita kasus RS Sumberwaras dan ibunda Jokowi naik bus seharga 3 miliar hanyalah contoh. Selain itu masih ada banyak berita absurd yang mungkin luput dari perhatian banyak orang. Isu rokok naik 50 ribu perbungkus, anda pikir itu dari blog atau sosmed? NO. Berita tersebut dimulai oleh Tribun dengan framing yang sukses memunculkan aneka HOAX. Tax Amnesty tentang kisah purnawirawan TNI, awalnya muncul dari media mainstream, Viva. Dengan framing yang sangat mengaburkan, sesuai moto tvoon: terdepan mengaburkan, akhirnya memunculkan cerita HOAX dengan bumbu dramatis. Nangis, negara memeras, dan sebagainya. Padahal dalam berita Viva, kalau kita mau jeli membaca, ada keterangan pendapatan di luar uang pensiunan dan menjadikannya wajib pajak. Dan salahnya tidak didaftarkan dalam SPT. Tapi siapa peduli? Toh yang viral malah Purnawirawannya nangis karena gajinya cuma 1.5 dan negara memerasnya.

Kalaupun ada konfirmasi dari pihak terkait, itupun diplitir lagi, minimal bisa terlihat memang ada atau akan. Contoh saja rokok, sudah jelas tidak masuk akal, tapi kemudian dimunculkan berita cukai rokok akan naik tahun depan. Ditambah dengan komentar petugas bea cukai, katanya perlu dikaji. Semua diplintir dan menimbulkan situasi sangat menarik, seolah-olah negara memang akan menaikkan rokok seharga 50 ribu perbungkus.

Masih belum puas dengan contoh tersebut? Saya tambahin. Ada yang pernah dengar utang jaman Jokowi naik dua kali lipat? Atau lebih banyak dari Soeharto? Saya yakin sering. Muncul di banyak blog dan sosmed. Kalian pikir isu tersebut dari mana awalnya? Jawa Pos bro. 

Ada orang yang kalau tak salah namanya Salamudin Daeng, mengatasnamakan organisasi apa lah, lalu dia mengklaim bahwa hutang Jokowi menumpuk dan jauh lebih besar ketimbang Soeharto. 

Padahal dalam berita tersebut dia membandingkan hutang negeri era Soeharto dan mensejajarkan dengan hutang swasta plus negeri era Jokowi. Melupakan kurs dan indikator ekonomi lainnya. 

Sampai sekarang isu tersebut terus bergulir, meskipun saya sudah menuliskan bantahannya, silahkan googling “Salamudin Daeng hutang Jokowi Jawapos sewordcom,” namun saya tidak bisa menahan laju efek berita dengan segala HOAX nya.

Masih banyak lagi cerita-cerita HOAX yang berawal dari media mainstream. Akhinya jadi abu-abu, dan kalau dibantahpun mereka akan merujuk pada media mainstream sambil bilang: pemerintah ngetes atau iya rokok ga jadi naik karena takut didemo, dan sebagainya. See? Mereka tidak mau mengakui sebagai korban HOAX. Malah balik menuduh dengan logika jongkoknya.

Saya tidak tau sampai kapan kita akan mendapat informasi berupa pembodohan publik yang terstruktur, sistematis dan massif seperti sekarang. Tapi yang jelas kita harus terus melawan. Beri tahu BPK bahwa mereka ngaco, sekali-kali sebutlah Jawapos, Tribun, Viva atau Tvone itu oon, supaya mereka jera memberi informasi framing. Minimal mereka tau bahwa kita protes.

Selengkapnya :

http://seword.com/media/ketika-institusi-dan-media-jadi-sumber-hoax-kita-bisa-apa/

Source link



Posting Komentar

 
Top