0

Berita Metropolitan – Persatuan Guru Republik Indonesia memberikan perhatian serius atas kasus

pemukulan guru yang terjadi SMK Negeri 2 Makassar. Reaksi keras tak hanya

ditujukan kepada orangtua murid yang melakukan penganiayaan. Namun juga kepada

pelajar yang bersangkutan, MA (15).



PGRI Sulsel sudah mengeluarkan surat

edaran agar anak tersebut tidak diterima di sekolah mana pun. Kemarin, seribuan

siswa, alumni, dan guru-guru dari SMK Negeri 2 Makassar dan PGRI menggelar

unjuk rasa di halaman Polsek Tamalate. Selain menuntut hukum, demonstran juga

meminta agar MA dipecat dari sekolahnya.



“Bila

perlu tidak satu pun sekolah menerima,” kata salah seorang pendemo, Sulhaji

Rahamdillah, saat menyampaikan orasinya.



Kapolsek, Kompol Aziz Yunuz,

menyampaikan MA dan ayahnya telah ditahan. Mereka dikenakan Pasal 170 dan 351

KUHP tentang penganiayaan berat dengan pengeroyokan.



“Ancaman

hukumannya maksimal tujuh tahun penjara,” katanya.



Ketua PGRI Sulsel, Prof Wasir Talib,

juga mendukung upaya itu. Dia menilai hukuman berat sudah harus diberikan

kepada pelaku pemukulan apalagi kejadiannya di sekolah.



“Kejadian

ini betul-betul mencoreng pendidikan di Sulsel. Sudah beberapa kali kejadian

seperti ini merugikan guru,” kata dia.



Guru Besar fakultas teknik UNM ini

menambahkan bahwa pihaknya telah berkoordinasi langsung dengan PGRI Pusat dan

kemudian PGRI Pusat konsultasi langsung dengan Kapolri.



“Tadi

juga kita telah bertemu langsung dengan pemukul. Dia mengaku tidak menyangka

apa yang dilakukannya berdampak besar. Dia juga menyesal. Kita sudah maafkan

namun proses hukum harus tetap jalan,” tegasnya.






Ketua Dewan Pendidikan Sulsel, Dr Adi

Suryadi Culla, menyampaikan, kejadian seperti ini mestinya tidak terjadi jika

orang tua paham prosedur sekolah. Mestinya, kata dia, kalau orangtua merasa

keberatan harus menempuh langkah yang lebih prosedural. Ada wadah dan ruang

yang disediakan di sekolah untuk mengantisipasi berbagai persoalan.





Dia juga berharap komite sekolah

benar-benar berfungsi menghubungkan orang tua siswa dengan guru-guru.







“Itu

agar persoalan seperti ini tidak terulang di kemudian hari,” imbuhnya.







Menanggapi hal itu Pakar Pendidikan

Universitas Negeri Makassar (UNM), Prof Arismunandar, menilai, hukuman bagi

pelaku memang harus sesuai dengn prosedur hukum di negeri ini.







“Namun,

khusus untuk anak perlu diberi kebijakan khusus. Selalu ada kesempatan bagi

anak untuk mengubah dirinya ke arah yang lebih baik. Untuk itu, tetap harus

diberi kesempatan untuk tetap sekolah,” kata mantan rektor UNM dua periode ini.







Kalau dilihat dari perilaku dari anak

tersebut, solusinya bukanlah dengan tidak memberikan dia ruang menempuh

pendidikan. Perlu pendidikan yang lebih kuat.







“Kasus

MA memang berbeda dengan anak lain pada umumnya. Dia butuh sekolah yang lebih

ketat dalam aturan. Seperti pesantren misalnya,” jelas Arismunandar.







Secara moral, lanjut dia, siapa pun

tidak senang dengan perilaku MA terhadap gurunya. Wacana tidak menerima dia di

sekolah bisa saja ada. Namun, dari sisi akademis itu memberatkan anak-anak.







“Setiap

anak butuh pendidikan yang cocok untuk mengubah perilakunya. MA sepertinya

tidak tepat disekolahkan di sekolah biasa. Mesti dengan pendidikan yang lebih

khusus,” imbuhnya.







Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA)

Sulsel, Fadiah Mahmud, juga mengaku prihatin atas terjadinya permasalahan anak

di lingkungan satuan pendidikan. Dia menyampaikan, Undang-undang Nomor 35 Tahun

2014 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak, pasal 54 menyatakan bahwa anak di dalam dan di lingkungan

satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan fisik,

psikis, kejahatan seksual dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik,

tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.







“Pemberian

sanksi bukan tindakan liar yang kemudian dapat serta-merta dijadikan alasan

untuk memperlakukan anak secara semena-mena, melainkan pemberian sanksi yang

memberikan efek pembelajaran bagi anak,” ujar Fadiah, kemarin.







Lebih jauh Fadiah menjelaskan bahwa

sudah saatnya semua pihak berpikir dan bertindak logis dalam menegakkan sanksi.









“Apapun

sanksi yang dikenakan, kepentingan terbaik anak tetap harus dijaga. Itu

berarti, anak tidak dipandang semata-mata sebagai individu yang hari ini telah

melakukan kesalahan. Anak harus tetap diposisikan sebagai individu dengan

berjuta potensi pengembangan diri di masa depan. Bukahkah keberhasilan itu

dinilai dari proses apa yang dilakukan untuk menjadikan seseorang menjadi baik,”

tegasnya.
(jpnn.com via nadiguru.web.id)



Source link



Posting Komentar

 
Top