0









Berita Metropolitan – Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

(BPN) membebaskan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)

dengan nilai jual obyek pajak di bawah Rp2 miliar. 

“Dengan dukungan gubernur, masyarakat akan dibebaskan BPHTB sampai Rp

2 miliar,” ujar Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan

Nasional (BPN) Nasional Sofyan Djalil, Jumat (12/8).



BPHTB selama ini, kata Sofyan, menjadi beban masyarakat sehingga

tidak sedikit yang malas mengurus sertifikat. Namun kini setelah ada

kesepakatan dengan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama, maka warga yang

belum mengurus sertifikat lahannya hanya membayar biaya sertifikat saja.

“Hanya dengan Rp300.000 saja BPN akan keluarkan sertifikat,” ujar

Sofyan.



Ahok sebelumnya mengatakan kebijakan Menteri Agraria itu cocok untuk

warga yang hanya memiliki pendapatan UMP. “Orang yang pendapatan UMP

akan sulit membuat sertifikat tanahnya. Hal ini disebabkan BPHTB yang

mahal,” ujar Ahok di gedung Kementerian ATR/BPN. 


BESARAN pajak Bea Perolehan Hak Tanah & Bangunan

(BPHTB) memang keterlaluan. 


Sepuluh persen dari nilai transaksi.

Sungguh ironis, negara memperlakukan rakyatnya seperti Belada pada kaum

inlander (pribumi). Banyak orang ogah urus sertifikat karena dihantui

BPHTB yang mencekik leher. Gubernur Ahok tak tega wong cilik digorok

mahalnya BPHTB. 


Maka setelah berunding dengan Menteri Agraria/Kepala

BPN, diputuskan bahwa transaksi Rp 2 miliar ke bawah akan dibebaskan

dari BPHTB.



Sejak awal Gubernur Ahok menyetujui gagasan Menteri Agraria/BPN bahwa

BPHTB akan dihapuskan. Tapi kala itu kalangan Pemda yang mencak-mencak,

karena pajak BPHTB itu merupakan bagian dari PAD mereka. Sampai

menterinya pindah ke Sofyan Djalil, soal BPHTB tenggelam dari

pembicaraan.



BPHTB itu pajak pusat, tapi pemungutannya diserahkan ke daerah.

Pemerintah menerima 20 %, yang 64 % untuk pemerintah kota/kabupaten dan

16 % untuk Pemprov. Jadi untuk Jakarta misalnya, 64 % itu masuk ke kas

Walikota 5 wilayah dan yang masuk Pemprov 16 %. Bagi DKI yang PAD-nya

tinggi, terima 16 % untuk BPHTB dinilai sangat kecil.



Tapi bagi rakyat kecil Jakarta, pajak BPHTB yang 10 % dari nilai

transaksi, jelas sangat memberatkan. Bila nilai transaksi Rp 350 juta

misalnya, maka BPHTB-nya mencapai Rp 35 juta dan itu ditanggung renteng

oleh penjual dan pembeli. Gara-gara BPHTB yang mencekik leher, orang

jadi males mengurus sertifikat tanahnya.



Kemarin Gubernur Ahok ketemu Menteri Agraria/BPN Sofyan Djalil. Dari

perundingan itu Ahok 

memutuskan pajak BPHTB transaksi Rp 2 miliar ke

bawah dihapuskan, sebagai gantinya pemohon hanya bayar Rp 300.000,-

saja. Rupanya Ahok memahami keluhan rakyat, yang oleh Kantor Pajak

dianggap inlander di jaman Belanda.



Bayar pajak BPHTB untuk pembeli selain mencekik leher, juga

merepotkan. Negara sudah terima duit saja, Kantor Pajaknya berlagu

banget. Setelah dibayar ke Bank DKI harus divalidasi Kantor Pajak

kecamatan dengan persyaratan yang bejibun. Di situ ada persyaratan sadis

pula, yakni pernyataan bahwa siap bayar denda manakala ditemukan

transaksi di notaris lebih kecil ketimbang transaksi sebenarnya.




Sebagaimana umumnya birokrasi, rupanya Kantor Pajak juga punya motto: jika urusan bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah.(poskotanews.com)






Source link



Posting Komentar

 
Top