0




Berita Metropolitan.com, Jakarta – Keterlibatan tentara dalam penggusuran seperti yang terjadi di wilayah DKI Jakarta dinilai berlebihan.



Direktur Eksekutif Imparsial Al Araf mengatakan, tugas tentara dalam operasi militer selain perang (OMSP) hanya dilakukan ketika ada ancaman tingkat tinggi dengan dasar urusan negara.



Dalam kasus penggusuran, lanjut Al Araf, tidak ada ancaman serius dari dampak penggusuran yang terjadi. Sehingga, tentara dinilai tidak perlu terlibat membantu operasi penggusuran.



“Memang polisi dan sipil tidak bisa mengatasi penggusuran? Apakah itu ada high density threat? Ini keliru,” ujar Al Araf dalam Diskusi Publik “Problematika Operasi Militer Selain Perang” di Gedung YLBHI, Jakarta, Senin (3/10/2016).



Menurut Al Araf, keterlibatan tentara dalam operasi penggusuran tidak sesuai dengan tugas, pokok, dan fungsi (tupoksi) TNI. Sebab, tupoksi TNI menyatakan bahwa tentara merupakan komponen utama dalam sistem pertahanan negara.



Sedangkan operasi yang melibatkan TNI dalam penggusuran dilakukan untuk menjaga keamanan dan ketertiban umum. Dalam hal ini, kata Al Araf, seharusnya yang digunakan hanyalah Satuan Polisi Pamong Praja.



“Lagipula masih ada Satpol PP juga. Pelibatan militer dalam penggusuran itu keliru,” tutur Al Araf.



Selain itu, keterlibatan tentara dinilai tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, khususnya Pasal 17.



Dalam pasal tersebut, disebutkan bahwa kewenangan dan tanggung jawab pengerahan kekuatan TNI berada pada Presiden. Selain itu, Presiden harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.



Seharusnya, jika memang ingin melibatkan TNI dalam penggusuran karena dianggap memiliki tingkat ancaman yang tinggi, pemerintah daerah seharusnya meminta keputusan Presiden RI, Joko Widodo.



“Kalaupun memang polisi dan sipil tidak bisa mengatasi, bisa bilang ke Presiden minta putusan,” ucap Al Araf.



Al Araf menilai, pelibatan TNI dalam kasus seperti ini dapat menggerus profesionalisme dan fungsi tentara.



“Karena potensi ini menimbulkan neglesi (pembiaran) negatif terhadap profesionalisme militer. Abuse of power-nya menjadi tinggi,” kata Al Araf.



Selain itu, ia juga menakutkan adanya potensi intervensi militer dalam ranah masyarakat sipil.



“Ini juga berbahaya. Bisa saja nanti berlanjut ke fase politik,” ucap Araf. (Sumber: Kompas.com).




Posting Komentar

 
Top