0




Berita Metropolitan.com, Jakarta – Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional (PAN) Eddy Soeparno menilai, kontrak politik seringkali digunakan dalam pesta demokrasi, baik dalam pemilihan presiden maupun pemilihan kepala daerah.



Sejumlah calon yang bersaing menggunakan cara itu guna meraih dukungan.



“Berbagai kontrak politik ditandatangani, juga dalam pilkada-pilkada sebelumnya,” ujar Eddy di Kantor DPP PAN, Jakarta, Rabu (19/10/2016).



Namun, pada kenyataannya kontrak politik tidak mudah diwujudkan begitu saja.



Saat seseorang menjabat sebagai pimpinan, ada sejumlah kendala yang memaksa kontrak politik tak bisa diwujudkan. Misalnya, bersinggungan dengan kepentingan hajat hidup masyarakat lainnya.



“Juga banyak yang tidak dijalankan, tidak bisa dilaksanakan,” kata dia.



Di sisi lain, kontrak politik tidak mengikat.



“Tidak bisa dituntut balik. Apakah ada upaya hukum atau apa ada upaya bahwa seseorang tidak menjalankan kontrak politik itu,” kata dia.



Maka dari itu, kontrak politik tidak melulu diperlukan dan diterapkan untuk mendapatkan dukungan.



Menurut Eddy, pasangan calon yang bersaing bisa tetap meraih dukungan dengan cara menyampaikan kebijakan-kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat luas.



Hal ini juga, kata Eddy, yang dilakukan oleh Agus Harimurti Yudhoyono dan Sylviana Murni. Pasangan ini tampak berbeda dengan pasangan lainnya yang melakukan kontrak politik.



Tanpa kontrak politik, pasangan calon jadi tidak terikat pada satu hal tertentu.



Sehingga, ini memberikan keluwesan dalam menentukan kebijakan yang manfaatnya lebih luas ketika memimpin nantinya.



“Daripada Mas Agus menandatangani sekian banyak kontrak politik dan membuat terikat hal-hal tertentu, biarkan Mas Agus ini menjalankan kegiatan-kegiatannya, kebijakan kebijakannya sesuai apa yang dirasakan masyarakat Jakarta,” kata dia.



Ia menambahkan, tanpa harus ada penandatangan di atas kertas pun sebenarnya sudah terjadi kontrak politik ketika masyarakat memberi dukungan terhadap pasangan calon yang dipilihnya.



Karena saat memilih itulah masyarakat memberikan kepercayaan kepada pasangan calon seiring dengan keharusan bagi pasangan calon mengemban amanah atas kepercayaan tersebut.



“Kontrak politik antara Agus dan masyarakat Jakarta terjadi ketika masyarakat mencoblos nama Agus-Silvi itu,” kata dia. (Sumber: Kompas.com).




Posting Komentar

 
Top