Kali Ciliwung sebelum di normalisasi |
Berita Metropolitan – Hingga tahun 1960-an, kali Ciliwung itu masih
bersih airnya. Tapi ketika penduduknya makin padat oleh kaum urban,
mulailah Ciliwung menghitam. Kaum urban yang kalah bersaing dalam
perebutan ekonomi, nekat mereklamasi kali Ciliwung untuk hunian.
Maka andaikan kali ini bisa bicara, dia akan bilang: capek deh! Sebab
kali Ciliwung kini ditarik-tarik pula ke politik, menjadi penyebab
“berantem” pula antara Gubernur dengan rakyatnya, termasuk sejarawan dan LSM.
Tahun 1960 penduduk Jakarta belum sampai 3 juta. Penataan kota pun
belum dilakukan secara serius, sehingga Jakarta yang menjadi ibukota
negara itu sering disebut kampung besar. Baru setelah Ali Sadikin
ditunjuk Presiden Sukarno sebagai Gubernur DCI (Daerah Chusus Ibukota),
Jakarta menunjukkan perubahan yang pesat.
Pesatnya pembangunan di Jakarta, memperluas lapangan kerja pula.
Orang daerah pun semakin deras memasuki ibukota, lengkap dengan membawa
karakter mereka dari kampung. Pemukiman makin padat, dan 13 kali yang
membelah ibukota mulai menghitam.
Ciliwung yang tahun 1975-an masih bisa untuk mandi, mencuci dan angon bebek, tahun 1980-an sudah tidak bisa lagi.
Mereka yang kalah dalam berebut rejeki di Ibukota, memilih tinggal di
pinggir kali. Kali Ciliwung pun direklamasi, sehingga kelebarannya yang
semula 60 meter banyak yang tinggal 3-5 meter. Mulailah banjir menjadi
tradisi setiap tahun, tapi Pemprov belum berfikir untuk menyingkirkan
penduduk tanggul kali itu.
Kali Ciliwung sedang dalam proses pengerjaan normalisasi |
Baru di masa Gubernur Ahok penduduk tanggul kali “perang” dengan
Pemda, karena mereka tak mau direlokasi. Mulailah Ciliwung jadi medan
politik, di mana sejarawan, LSM, Komnas HAM menyerang kebijakan Ahok
yang tidak pro rakyat.
Maka jika kali Ciliwung bisa ngomong, dia pasti mengeluh
berkepanjangan. Begitu berat beban yang ditanggung. Kali mestinya untuk
lintasan air menuju laut, dipenuhi pula oleh sampah rumahtangga dan
industri.
Tapi ketika kali dinormalisasi dan nampak bersih, dipolitisir
bahwa itu yang memulai gubernur sebelum Jokowi-Ahok, bukan Ahok. Biarkan
sejarah “dibelokkan”, yang jelas bahasanya Wagub Djarot: becik ketitik
ala ketara. – (poskotanews.com/gunarso ts)
Posting Komentar